28.4 C
Indonesia
Kamis, November 30, 2023

Date:

Berita -

Mahfud, Ganjar dan Bagaimana seharusnya menjadi Anak Muda

Ali bin Abi Thalib karramallâhu wajhah berkata:

لَيْسَ الْفَتىَ مَنْ يَقُوْلُ كَانَ أَِبيْ، وَلـٰكِنَّ الْفَتىَ مَنْ يَقُوْلُ هٰـأَنَاذَا

“Sesungguhnya pemuda itu ialah yang berani berkata inilah diriku, dan bukanlah pemuda itu yang berkata inilah ayahku.”.

Saya masih ingat hari pertama masuk sekolah di kelas 1 sekolah dasar di bulan Juli 1992. Waktu itu ada satu-dua teman yang masih ditunggui orang tuanya. Ayah atau ibu mereka menenunggu di luar kelas sambil sesekali menengok dari kaca jendela.

Teman-teman yang masih harus ditunggui orangtua ketika belajar di sekolah itu kemudian menjadi sasaran olok-olok teman yang lain. “Hiiii, masih ditungguin ibuk/ bapak. Kayak anak kecil.” Sungguh lucu, mengingat kami semua rata-rata masih berusia 6 tahun saat itu.

Mungkin pembaca juga mengalami apa yang pernah saya alami tersebut.

Di kala waktu bermain bersama, hampir selalu ada anak yang kalah dalam permainan kemudian menangis dan mengatakan, “Tak aduin bapakku.” Anak yang mengatakan hal semacam itu hampir pasti kehilangan respek dari teman yang lain.

Saat menginjak bangku SMA, ada teman yang ibunya adalah guru yang mengajar di sekolah kami. Alih-alih merasa mendapat previlige, teman tersebut justru merasa terbebani. Label “anaknya Bu Guru S” sangat membuatnya tidak nyaman. Ketika ada pemilihan ketua kelas dan ketua OSIS, dirinya pilih menghindar.

Betapa dari kecil kita semua diajarkan untuk “berdiri diatas kaki sendiri” oleh lingkungan sekolah maupun permainan. Ketika keluar dari rumah, kita harus bisa membawa nama kita sendiri. Tidak ada tempat untuk si anak kolokan.

Selama bertahun-tahun saya mengira hal-hal semacam itu hanya terjadi di lingkup pergaulan anak-anak dari keluarga biasa seperti saya. Namun pandangan tersebut akhirnya berubah. Paling tidak ada dua keluarga tokoh penting yang berhasil mematahkan anggapan tersebut.

Yang pertama adalah keluarga Mahfud MD. Menko Polhukam ini melarang keras tiga anaknya untuk “menjual” nama ayahnya untuk memudahkan mereka mendapatkan akses dalam menjalani kehidupan masing-masing. Bahkan saking rapinya mereka menutupi identitas sang ayah, anak kedua Mahfud, Vina Amalina sempat dikira mahasiswi dari keluarga tidak mampu oleh dosennya. Hal itu terjadi waktu Vina saat masih berkuliah di Universitas Airlangga. Padahal waktu itu Mahfud menjabat ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Salah satu posisi puncak di Indonesia.

Begitu pula dengan cucunya yang berumur 6 tahun yang dengan antusias bersama teman-temannya di Probolinggo dengan antusias menyambut kedatangan seorang menteri tanpa tahu kalau menteri yang dimaksud adalag kakeknya sendiri. Ya, si bocah memang hanya dikenalkan oleh orang tuanya tentang sosok kakeknya dari sisi personal. Bukan jabatan publik yang sedang diemban.

Begitu pula dengan keluarga Ganjar Pranowo. Alam, anak tunggalnya juga tumbuh dengan wajar. Ganjar dan istrinya Siti Atikoh tidak pernah memperlakukan Alam dengan istimewa. Mahasiswa Teknik Industri UGM ini tidak pernah dilayani bak pangeran selama tinggal di rumah dinas Gubernur Jateng.

Sejak kecil Alam dibiasakan untuk membuka pintu mobil sendiri. Ketika dewasa, pemuda 21 tahun ini juga tidak pernah meminta sopir dinas gubernuran untuk mengantarnya bepergian. Dirinya lebih nyaman jika mengemudikan kendaraanya sendiri.

Selama ini Alam juga tidak pernah menonjolkan kalau dirinya adalah anak Ganjar Pranowo. Menjalani hidup seperti orang kebanyakan.

Anak-anak Mahfud dan Ganjar tumbuh dewasa dengan alami. Dengan begitu mereka berhasil menjadi anak-anak muda tangguh. Kasih sayang orang tua diwujudkan dalam bentuk membuka ruang diskusi. Dengan begitu pertumbuhan anak-anak tersebut bisa seimbang dari sisi mental dan intelektual.

Mahfud selama ini aktif di media sosial selalu aktif mencuitkan sesuatu yang bisa memantik terjadinya diskusi, khususnya dari kalangan anak-anak muda. Dunia hukum yang identik dengan kalimat-kalimat rumit coba dijalaskan mantan Ketua MK tersebut dengan lugas dan sederhana.

Begitu pula dengan Ganjar. Selama memimpin Jateng, anak muda diberi porsi dalam menentukan kebijakan pembangunan. Mereka dilibatkan di setiap Musyawarah Rencana Pembangunan Wilayaah (Musrenbangwil). Representasi kelompok muda seperti Forum OSIS dan perwakilan mahasasiswa diberi kesempatan paling awal bersama Forum Anak, perwakilan kelompok perempuan dan kelompok difabel selalu diprioritaskan dalam penyampaian aspirasi.

Usul mereka tidak sekedar ditampung kemudian dieksekusi mentah-mentah. Ganjar selalu mengajak para penyampai aspirasi itu berdisikusi.

Saya membayangkan jika Ganjar dan Mahfud besok terpilih menjadi presiden dan wakil presiden. Mereka berdua bakal memperlakukan anak-anak muda Indonesia seperti ketika memperlakukan anak-anak mereka sendiri. Beri kesempatan dan tanggungg jawab. Dorong dengan fasilitas yang tepat.

Yang bakal mereka berikan adalah dialektika. Bukan memanjakan dalam arti yang sempit. Tugas pemerintahan Ganjar dan Mahfud adalah menyiapkan dan mendorong generasi muda untuk menyongsong Indonesia Emas 2045.

Karena generasi unggul adalah generasi yang berkarakter dan mampu berdiri diatas kaki sendiri.

Related stories

Joged Gemoy, Kekalahan Pikiran dan Nalar Publik Prabowo-Gibran

SURABAYA – Pengamat politik Airlangga Pribadi Kusman Ph.D menilai...

Ulama Karismatik Abuya Muhtadi Ajak Seluruh Kiai di Banten Dukung Ganjar-Mahfud

BANTEN - Ulama karismatik Banten K.H. Ahmad Muhtadi Dimyati...

Pedagang Bubur Ayam di Merauke Kaget, Ganjar Sarapan Bareng Dua Bocah di Warungnya

MERAUKE - Lina, pedagang bubur ayam di Jalan Mandala...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini