Oleh : Rika Sudjiman
Umumnya capres dan cawapres itu keluar dari partai politik. Ada juga yang memang datangnya secara personal, karena rekam jejak yang baik dan bagus dipilihlah dia menjadi capres ataupun cawapres. Tapi ini ada yang tidak umum, saat cawapres keluarnya dari Mahkamah Konstitusi (MK). Ada yang janggal, jelas karena MK bukan partai politik.
Malah dia adalah lembaga hukum negara yang independen dan memiliki kewenangan untuk menyelesaikan beberapa sengketa dengan adil. Bukan pula yang mengubah ataupun merevisi pasal dalam undang-undang.
Tapi hal tersebut tidak berlaku bagi MK yang dikomandoi oleh Anwar Usman. Bukannya menjadi ketua hakim yang baik di MK, dia lebih berperan sebagai ketum partai yang punya hak prerogative untuk menunjuk keponakannya menjadi cawapres dari Prabowo Subianto. Karena dua capres lainnya sudah memiliki pendamping yang mereka seleksi masing-masing.
Anehnya Jokowi sebagai presiden dan ayah Gibran merestui pencawapresan itu, tanpa pertimbangan apapun. Padahal sebelumnya presiden kebanggaan rakyat Indonesia itu juga menjawab beberapa kali pinangan Prabowo dengan penolakan. Tapi mengapa akhirnya luluh, dibujuk rayu apa Pak Presiden hingga bisa mengorbankan konstitusi negara?
Anwar Usman sebagai iparnya yang membuka jalan Gibran jadi cawapres, harus menjadi korbannya. Ya dia dilaporkan oleh berbagai pihak telah melakukan pelanggaran kode etik dalam mengambil keputusan. Dia terbukti mengintervensi proses pengambilan putusan batas usia capres cawapres, karena memihak pada gugatan yang tidak lengkap dan terpaku pada penilaian personal atau secara subjektif saja.
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) sudah memberikan sanksi beratnya kepada paman dari Gibran itu, untuk diberhentikan dari jabatannya sebagai Ketua MK. Sudah jelas putusan yang dikeluarkan Anwar itu karena keberpihakan paman terhadap keponakannya.
Sang paman sudah menerima balasan dari perbuatan yang diambilnya. Bahkan demi marwah lembaga penegak hukum, dia yang diberhentikan dari jabatan ketua MK didesak untuk menyingkir dari lembaga hukum negara itu.
Lalu bagaimana dengan Gibran yang bisa berjalan lewat putusan dari pamannya? Apa putusan itu masih berlaku? Itulah yang sampai hari ini masih menjadi gonajng-ganjing di publik. Ditambah lagi KPU sudah mengeluarkan hasil perubahan PKPU, yang tetap memperbolehkan Gibran maju menjadi cawapres. Rujukannya tetap putusan dari MK yang janggal tadi. Sebelumnya lebih parah lagi karena tanpa revisi PKPU, mereka langsung memberlakukan putusan MK untuk syarat pendaftaran peserta kontestasi pilpres.
Semakin jelas bukan jika sumber masalah utamanya ada pada putusan dari Anwar Usman. Produk hukum yang dikeluarkan sudah jelas menyalahi aturan, karena mengabaikan konstitusi yang berlaku. Akhirnya berangkat dari sana, lembaga lain tetap menganggap putusan itu sah di mata hukum gara-gara ketua MK yang mengambil keputusan berdasarkan konflik kepentingannya.
Apa itu masih legal? Secara norma, hal itu tentu menjadi sebuah kecacatan hukum. Gibran hanyalah cawapres illegal dari produk hukum yang dikeluarkan pamannya. Akan terus dikenal begitu seterusnya. Tentu hal itu menjadi satu moment yang sangat menodai kepercayaan publik, dengan lembaga hukum yang terkenal akan independensinyanya sekelas Mahkamah Konstitusi.
Bahkan bisa sampai pada kepercayaan hakim yang juga makin merosot, karena hubungan keluarga sang ketua hakim dengan pemimpinnya tadi. Semua tidak lebih dari hubungan orang dalam, untuk mencapai kekuasaan tertinggi di negara ini.
Hakim yang memegang amanah dari rakyat untuk membela kebenaran dan keadilan, nyatanya harus dipatahkan lewat fenomena yang dipertunjukkan oleh Anwar Usman. Gibran yang masih menikmati putusan itu sampai kapanpun menjadi simbol ketidakadilan di negara hukum ini.
Dia akan terus dikenal sebagai cawapres illegal yang berkeliaran karena nama pamannya, yang dipecat dari jabatan tertingginya demi meloloskan keponakannya menjadi cawapres. Semua pergerakan pemerintah menjadi sorotan publik. Alat negara seperti MK tadi menjadi pelajaran penting, agar rakyat tidak lengah dengan tindak-tanduk pemimpin dan para pejabat elite di atas sana. Karena sampai kapanpun mereka yang mendapat amanah atas nama bangsa dan negara, akan terus dikuliti oleh rakyat yang memegang demokrasi tertinggi di bumi tempat kita berpijak ini.