Sabtu, Juli 19, 2025
Beranda » Pilihan Redaksi » Membela yang Tak Terdengar, Witi Muntari dan Perjuangan Perempuan

Membela yang Tak Terdengar, Witi Muntari dan Perjuangan Perempuan

Melihat Indonesia

MELIHAT INDONESIA, SEMARANG – Raden Ajeng Kartini memang telah lama tiada, namun semangat perjuangannya masih hidup dan diteruskan oleh generasi penerus.

Salah satu sosok yang kerap disebut sebagai Kartini masa kini adalah Witi Muntari. Aktivis perempuan ini tak kenal lelah memperjuangkan terpenuhinya hak-hak perempuan, terutama mereka yang berada dalam kondisi rentan.

Perempuan asal Semarang yang akrab disapa Witi ini menjabat sebagai Kepala Internal di Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM).

Lembaga sosial ini fokus pada pendampingan kasus kekerasan terhadap perempuan, pemberdayaan serta pengorganisasian perempuan marginal, hingga advokasi kebijakan dan anggaran yang responsif gender.

Menurut Witi, perempuan korban kekerasan yang didampingi oleh LRC-KJHAM diberi ruang untuk menentukan langkah sendiri dalam proses pendampingan, sehingga tercipta pemberdayaan korban.

Selama bertahun-tahun, Witi telah mendampingi banyak kasus. Saat ini, katanya, kecenderungan kasus yang paling banyak muncul adalah kekerasan seksual, disusul oleh kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Ia pernah menangani kasus kekerasan seksual terhadap anak berusia di bawah lima tahun. Kasus ini sangat membekas karena membutuhkan pendekatan dan energi ekstra dalam prosesnya.

“Sebagai pendamping, kita harus punya strategi khusus untuk membangun kepercayaan dengan korban anak,” cerita Witi, Jumat (20/4/2025).

Ia juga sering mendampingi korban dewasa. Menurutnya, ada berbagai kendala dalam proses hukum, termasuk masih kuatnya stigma dan persepsi keliru terhadap korban.

“Saya merasa geram karena ketika korban dan pelaku sama-sama dewasa, kasus sering sulit diproses hukum, padahal sudah ada UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” tegasnya.

Witi menambahkan, jika laporan kekerasan dibuat dalam rentang waktu yang cukup lama setelah kejadian, keterangan korban kerap diragukan. Padahal korban sering kali memerlukan waktu panjang untuk berani melapor.

Ironisnya, lanjut Witi, belum ada satu pun kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dewasa yang didampingi oleh LRC-KJHAM diputus oleh pengadilan menggunakan undang-undang tersebut.

Menemukan Arti dalam Pendampingan

Meskipun lelah, Witi mengaku merasa bahagia karena bisa memberikan manfaat kepada para korban.

“Kita bisa saling mendukung, saling belajar, dan berproses bersama. Pengalaman perempuan itu luar biasa. Setiap perempuan punya cerita yang unik,” ujarnya.

Suatu kali, setelah memfasilitasi pelatihan paralegal, ada peserta yang mengungkapkan keinginannya untuk konseling.

Perempuan tersebut mengalami kekerasan psikis dari suaminya selama bertahun-tahun, hingga harus menjalani terapi dan konsumsi obat. Ia merasa sangat tertekan dan membutuhkan tempat untuk bercerita.

“Dalam momen seperti itu, saya merasa berguna. Bisa menemani korban menceritakan masalahnya, mendiskusikan keinginannya, dan memberi dukungan bahwa mereka tidak sendiri,” tambahnya.

Ada banyak harapan yang Witi gantungkan dari kerja-kerja advokasi di LRC-KJHAM. Ia ingin perempuan rentan mendapatkan ruang partisipasi yang setara dalam program, kebijakan, dan anggaran.

Dengan demikian, partisipasi perempuan bukan sekadar memenuhi kuota, melainkan partisipasi yang utuh dan bermakna.

Refleksi di Hari Kartini

Hari ini, Senin (21/4/2025), diperingati sebagai Hari Kartini. Bagi Witi, hari ini menjadi momen untuk mengingat semangat Kartini sebagai pejuang kesetaraan dan hak pendidikan.

Kartini memperjuangkan agar perempuan dapat mengakses pendidikan, dan perjuangan itu kini terasa manfaatnya. Menurut Witi, sudah seharusnya perempuan bebas memilih pendidikan setinggi-tingginya.

“21 April jangan hanya jadi seremoni tahunan, tapi jadi pengingat bahwa perempuan juga berhak atas kesetaraan,” tuturnya.

Apakah saat ini perempuan sudah benar-benar setara? Witi meyakini perjuangan belum selesai, sebab masih banyak perempuan yang menjadi korban kekerasan dan diskriminasi.

Kartini mengupayakan pendidikan, kesetaraan karya, dan kepemimpinan bagi perempuan. Nilai-nilai itu masih relevan dan harus terus diperjuangkan.

Witi pun mengajak semua pihak untuk terus bergerak bersama kelompok perempuan miskin, rentan, dan marginal demi terwujudnya kesetaraan.

Dengan perjuangan bersama, perempuan akan semakin berdaya, punya ruang untuk bersuara, mandiri secara ekonomi, dan terlindungi dari kekerasan. (bhq)

Recent PostView All

Leave a Comment

Follow Us

Recent Post

Adblock Detected

Please support us by disabling your AdBlocker extension from your browsers for our website.