MELIHAT INDONESIA, JAKARTA – Desakan pergantian Wakil Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka, kian menguat setelah Forum Purnawirawan Prajurit TNI secara resmi mengusulkan pencopotannya. Mereka menyuarakan tuntutan tersebut dalam acara Silaturahmi Purnawirawan di Kelapa Gading, Jakarta Utara, Kamis (17/4/2025).
Dalam forum itu, sebanyak 103 purnawirawan jenderal, 73 laksamana, 65 marsekal, dan 91 kolonel menandatangani pernyataan dukungan terhadap usulan pemberhentian Gibran dari kursi Wakil Presiden.
Mereka menilai keabsahan posisi Gibran patut dipertanyakan, merujuk pada keputusan Mahkamah Konstitusi soal Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang dinilai cacat hukum, dan menjadi dasar Gibran bisa maju dalam Pilpres 2024.
Menanggapi gejolak ini, Ketua MPR RI Ahmad Muzani menegaskan bahwa Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka adalah Presiden dan Wakil Presiden sah, hasil dari pemilu demokratis yang sudah digelar secara konstitusional.
Namun demikian, berdasarkan konstitusi Indonesia, pemberhentian Wakil Presiden di tengah masa jabatan tetap dimungkinkan, asalkan memenuhi syarat dan mengikuti prosedur yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Syarat pemberhentian Wakil Presiden termuat dalam Pasal 7A UUD 1945. Wakil Presiden dapat diberhentikan apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Wakil Presiden.
Sementara tahapan prosedural pemberhentian Wakil Presiden diatur secara rinci dalam Pasal 7B UUD 1945. Proses ini harus dimulai dari usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang kemudian diajukan ke Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Sebelum usulan sampai ke MPR, DPR wajib mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Wakil Presiden. Permintaan ini harus didukung sekurang-kurangnya dua pertiga anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna.
Mahkamah Konstitusi kemudian harus menyidangkan dan memutus perkara tersebut dalam waktu paling lama 90 hari sejak menerima permintaan DPR. MK wajib memeriksa secara objektif apakah Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran atau tidak lagi memenuhi syarat jabatan.
Apabila MK memutuskan bahwa Wakil Presiden terbukti bersalah, maka DPR menggelar sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian ke MPR.
Majelis Permusyawaratan Rakyat kemudian wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul tersebut paling lambat 30 hari setelah menerima usul dari DPR.
Dalam rapat paripurna MPR, kehadiran minimal tiga perempat anggota menjadi syarat mutlak. Keputusan pemberhentian harus disetujui oleh sekurang-kurangnya dua pertiga anggota yang hadir.
Selain itu, Wakil Presiden yang diusulkan untuk diberhentikan wajib diberikan kesempatan untuk menyampaikan penjelasan di hadapan sidang paripurna MPR sebelum keputusan diambil.
Prosedur ini menggambarkan bahwa pemberhentian Wakil Presiden tidak dapat dilakukan secara sembarangan, melainkan melalui mekanisme hukum ketat yang mengedepankan asas keadilan, objektivitas, serta penghormatan terhadap konstitusi.
Di tengah dinamika tersebut, Forum Purnawirawan Prajurit TNI tetap bersikukuh mengajukan delapan sikap kepada Prabowo Subianto, salah satunya terkait usulan pergantian Wakil Presiden.
Delapan sikap tersebut juga mencakup tuntutan seperti kembalinya konstitusi ke UUD 1945 asli, penolakan kelanjutan proyek IKN, penghentian tenaga kerja asing ilegal, hingga reshuffle kabinet untuk membenahi jalannya pemerintahan.
Gelombang usulan pemakzulan ini pun menjadi sinyal bahwa stabilitas pemerintahan ke depan menghadapi tantangan serius, terutama dalam menjaga kepercayaan publik dan soliditas kekuasaan.
Waktu akan membuktikan apakah syarat dan tahapan resmi ini akan diaktifkan untuk menguji legitimasi seorang Wakil Presiden di tengah badai politik yang terus menggelora. (**)