MELIHAT INDONESIA, JAKARTA – Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) kembali memicu perdebatan sengit. Usulan untuk menambah lima kementerian/lembaga yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif menuai pro dan kontra, membuka kembali perdebatan soal peran militer dalam ranah sipil.
Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsoeddin, mengungkapkan bahwa revisi ini akan memperluas cakupan posisi yang bisa ditempati oleh prajurit aktif di luar 10 kementerian/lembaga yang telah diatur dalam UU sebelumnya. “Jadi ada 15, kemudian untuk jabatan-jabatan tertentu lainnya. Itu kalau mau ditempatkan dia mesti pensiun,” ujar Sjafrie seusai rapat dengan Komisi I DPR di Jakarta Pusat, Selasa, 11 Maret 2025.
Menurut Sjafrie, jika revisi ini disahkan, prajurit yang menduduki jabatan di kementerian atau lembaga yang masuk dalam daftar 15 instansi tersebut tidak perlu mengundurkan diri dari dinas militer. “Di luar 15 plus, dia mesti pensiun, yang masuk pada 15 itu tidak,” tambahnya.
Jalur Mulus bagi Prajurit Aktif?
Usulan ini menambahkan lima institusi ke dalam daftar kementerian dan lembaga yang bisa diisi oleh prajurit aktif, yakni Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Keamanan Laut (Bakamla), dan Kejaksaan Agung.
Sebelumnya, Pasal 47 ayat 2 UU TNI hanya mengizinkan prajurit aktif untuk menduduki 10 posisi di luar struktur militer tanpa perlu pensiun, di antaranya Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Kementerian Pertahanan, Sekretariat Militer Presiden, Badan Intelijen Negara (BIN), Lembaga Sandi Negara, Lemhannas, Dewan Ketahanan Nasional, Basarnas, BNN, dan Mahkamah Agung.
Benturan dengan Prinsip Profesionalisme?
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Mayor Jenderal Hariyanto, menegaskan bahwa aturan saat ini mewajibkan prajurit TNI yang ingin beralih ke jabatan sipil di luar 10 instansi tersebut untuk mengajukan pengunduran diri. “Prajurit dapat mengajukan pengunduran diri untuk beralih ke jabatan sipil di luar struktur TNI,” kata Hariyanto, Senin, 10 Maret 2025.
Hariyanto juga menjelaskan bahwa proses pengunduran diri ini harus melalui mekanisme berjenjang hingga mendapat persetujuan dari pimpinan tertinggi TNI. Setelah disetujui, prajurit tersebut berstatus sipil penuh dan tidak lagi terikat dengan aturan militer. “Jika seorang prajurit aktif menduduki jabatan yang tidak sesuai Pasal tersebut tanpa mengundurkan diri atau pensiun, maka dapat dikenakan sanksi disiplin atau aturan hukum yang berlaku,” tambahnya.
Kembali ke Dwifungsi TNI?
Revisi ini menimbulkan kekhawatiran tentang kebangkitan kembali dwifungsi TNI, sebuah konsep yang pada era Orde Baru membuat militer memiliki peran ganda, baik di ranah pertahanan maupun pemerintahan sipil. Para pengkritik menilai bahwa perluasan kewenangan bagi prajurit aktif ini dapat mengikis reformasi militer yang selama ini diupayakan pasca-reformasi 1998.
Penolakan terhadap revisi ini juga datang dari berbagai kelompok sipil, termasuk Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) yang menggelar aksi demonstrasi menentang revisi UU TNI dan Polri. “Kami menolak militerisme dalam pemerintahan sipil. Reformasi TNI harus tetap dijaga!” tegas salah satu orator dalam aksi yang digelar di depan gedung DPR.
Sementara itu, Fraksi PDI Perjuangan di DPR juga menolak revisi ini dengan alasan yang sama, namun Badan Legislasi DPR tetap melanjutkan pembahasannya.
Akankah Revisi Disahkan?
Dengan tarik ulur yang terus terjadi, revisi UU TNI ini masih menjadi perdebatan di parlemen dan publik. Apakah ini akan menjadi langkah maju dalam reformasi birokrasi, atau justru membuka kembali pintu bagi militer untuk kembali berperan dalam ranah sipil? Jawabannya kini ada di tangan para pembuat kebijakan. (**)