MELIHAT INDONESIA, JAKARTA – Kasus yang mengguncang institusi kepolisian kembali mencuat ke publik. Mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja, ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan penyalahgunaan narkoba dan tindak asusila terhadap anak di bawah umur. Gelombang kemarahan pun datang dari berbagai pihak, menuntut hukuman berat bagi pelaku yang seharusnya menjadi penegak hukum.
Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Selly Andriany Gantina, menyatakan kegeramannya terhadap kasus ini. Ia menegaskan bahwa hukuman maksimal harus dijatuhkan agar menjadi efek jera, terutama mengingat status tersangka sebagai aparat penegak hukum.
“Harus dihukum maksimal. Apalagi dia sebagai Kapolres, seharusnya memberi contoh,” ujar Selly dalam pernyataannya pada Selasa, 11 Maret 2025.
Kasus ini juga menarik perhatian Komnas HAM yang mendesak agar AKBP Fajar tak hanya dijerat dengan sanksi etik, tetapi juga pidana. Uli Parulian Sihombing, Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Komnas HAM, menekankan perlunya proses hukum yang transparan dan adil.
“Mendesak penegakan hukum yang adil dan transparan dengan perlunya sanksi etika dan pidana atas pelecehan seksual dan/atau tindakan pencabulan yang diduga dilakukan oleh Kapolres non-aktif Ngada,” tegas Uli.
Sementara itu, Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri menilai bahwa perbuatan AKBP Fajar bukanlah kejadian tunggal. Ia menyebut adanya indikasi kuat bahwa tersangka telah terbiasa melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak.
“Langsung tiga anak dalam satu episode tunggal mengindikasikan level keberanian dan kefasihan FW dalam melakukan kejahatan seksual terhadap anak. Sehingga, patut diduga ada anak-anak lain yang juga telah dimangsa oleh FW,” jelas Reza dalam keterangannya pada Kamis, 13 Maret 2025.
Reza juga mengungkap bahwa tersangka sebelumnya diketahui pernah membayar perempuan dewasa untuk layanan seksual. Hal ini menunjukkan bahwa orientasi asusila yang bersangkutan tidak terbatas hanya pada anak-anak.
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS dan UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Selly Andriany Gantina menegaskan bahwa hukuman yang pantas bagi AKBP Fajar adalah yang terberat.
“Bila dijuncto-kan, maka serendahnya dia bisa dikenai hukuman 20 tahun. Tapi karena bejatnya, saya pikir hukuman seumur hidup atau mati lebih pantas,” katanya dengan tegas.
Senada dengan itu, Anggota Komisi III DPR RI, Dewi Juliani, menyebut bahwa perbuatan AKBP Fajar bukan sekadar pelanggaran etik, melainkan kejahatan berat yang merusak kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian.
“Saya mengecam keras tindakan AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja. Ini bukan sekadar pelanggaran kode etik, tetapi kejahatan serius yang mencoreng institusi Polri dan merusak kepercayaan publik,” ungkap Dewi pada Selasa, 11 Maret 2025.
Ia mendesak agar kasus ini tidak hanya berhenti di sanksi etik, melainkan juga diusut secara pidana tanpa ada kompromi.
“Kami di Komisi III DPR RI akan terus mengawal kasus ini agar hukum benar-benar ditegakkan. Tidak boleh ada kompromi terhadap pelaku kejahatan berat, terlebih jika pelakunya adalah aparat penegak hukum sendiri. Keadilan harus dipulihkan, baik bagi korban maupun demi menjaga martabat institusi Polri,” tambahnya.
Komnas HAM juga mendesak perlindungan maksimal bagi para korban serta pemulihan psikologis mereka. Uli Parulian Sihombing menegaskan bahwa negara bertanggung jawab memastikan keadilan bagi anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual.
“Komnas HAM memandang anak-anak merupakan korban yang rentan mengalami tindakan kekerasan, pelecehan seksual, dan/atau pencabulan yang mengakibatkan pelanggaran HAM,” kata Uli.
Desakan agar kepolisian segera memberikan hukuman maksimal semakin menguat. Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni, mendesak agar Propam Polri tidak ragu untuk memecat dan memidanakan tersangka dengan pasal berlapis.
“Tidak ada kompromi untuk pelaku kejahatan berat, terutama yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Institusi Polri harus segera mengambil tindakan tegas dan transparan agar kepercayaan publik tidak semakin runtuh,” ujar Sahroni.
Sementara itu, publik terus memantau perkembangan kasus ini dengan harapan agar hukum benar-benar ditegakkan tanpa celah impunitas bagi tersangka. Kasus ini menjadi pengingat bahwa kejahatan terhadap anak adalah pelanggaran serius yang harus ditindak tegas, terlebih jika pelakunya berasal dari institusi yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat. (**)