Wacana pengurangan luas minimal rumah subsidi menjadi 18 meter persegi menuai kontroversi di tengah masyarakat.
Usulan ini pertama kali mencuat setelah pertemuan antara Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Maruarar Sirait (Ara), dengan CEO Lippo Group, James Riady, serta sejumlah pihak terkait seperti Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN), Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), asosiasi pengembang properti, dan Kementerian Dalam Negeri.
Pertemuan tersebut membahas solusi penyediaan rumah subsidi yang lebih terjangkau, khususnya di kawasan metropolitan seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek).
Program rumah subsidi di Indonesia selama ini mengacu pada standar luas minimal 36 hingga 70 meter persegi, sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) dan standar global untuk hunian layak.
Namun, tingginya harga lahan di kawasan perkotaan mendorong munculnya usulan penyesuaian luas rumah subsidi menjadi 18 meter persegi, yang dinilai lebih realistis untuk dibangun di tengah keterbatasan lahan dan anggaran. Salah satu desain yang diajukan adalah rumah berukuran 18 meter persegi di atas lahan seluas 25 meter persegi, dengan konsep minimalis yang menyasar kalangan lajang atau keluarga kecil.
Nama James Riady mencuat karena mempresentasikan desain rumah kecil tersebut dalam rapat. Namun, ia menegaskan bahwa bukan dirinya yang mengusulkan ide tersebut, melainkan Kementerian PKP yang memintanya memberikan masukan.
Hal ini ditegaskan pula oleh Dirjen Perumahan Perkotaan, Sri Haryati, yang menyatakan bahwa masukan datang dari banyak pihak, termasuk asosiasi pengembang dan perusahaan besar. James sendiri diundang karena pengalamannya dalam merancang hunian kecil, meskipun Lippo Group belum pernah terlibat dalam program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).
Sebagai tindak lanjut, pada 12 Juni 2025, Ara dan James Riady memperkenalkan mock-up rumah subsidi urban di Plaza Semanggi, Jakarta. Kehadiran contoh fisik rumah ini diharapkan dapat memberi gambaran konkret mengenai konsep rumah kecil yang ditawarkan. Namun, usulan ini tetap memicu pro dan kontra.
Pihak yang mendukung menilai bahwa rumah kecil dapat menjadi solusi nyata bagi keterbatasan lahan dan anggaran perumahan. Sebaliknya, pihak yang menolak menilai bahwa rumah dengan luas hanya 18 meter persegi tidak layak ditempati oleh masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang membutuhkan ruang hidup yang cukup.
Hingga saat ini, wacana pengurangan luas minimal rumah subsidi tersebut masih dalam tahap pembahasan dan belum menjadi kebijakan resmi pemerintah.