MELIHAT INDONESIA, JAKARTA – Langkah pemerintah menurunkan anggaran program Makan Bergizi Gratis (MBG) dari Rp15 ribu menjadi Rp10 ribu per porsi menuai polemik. Kebijakan yang diumumkan Presiden Prabowo Subianto ini memicu pertanyaan publik: apakah dengan anggaran sebesar itu kebutuhan gizi harian penerima dapat terpenuhi?
Kebijakan yang Berujung Pertanyaan
Dalam konferensi pers di Jakarta Pusat pada Jumat (29/11/2024), Presiden Prabowo menegaskan bahwa penyesuaian anggaran ini didasarkan pada kondisi APBN yang terbatas. Namun, ia tetap optimistis bahwa kualitas makanan tetap terjaga. “Kita hitung, Rp10 ribu cukup untuk menyediakan makanan yang bermutu dan bergizi,” katanya.
Optimisme serupa disampaikan Menko Pemberdayaan Masyarakat, Muhaimin Iskandar, yang mengklaim keputusan ini telah melalui simulasi matang. “Hasil simulasi menunjukkan anggaran tersebut dapat memenuhi kebutuhan minimal,” ujarnya. Namun, apakah anggaran sebesar ini realistis di tengah kenaikan harga pangan?
Simulasi Warteg: Mampukah Rp10 Ribu Memadai?
Upaya memahami efektivitas anggaran ini dilakukan dengan simulasi langsung ke sejumlah warung tegal (warteg) di Jakarta. Dengan Rp10 ribu, pembeli hanya bisa mendapatkan nasi, sayur, dan telur dadar — komposisi yang jauh dari kebutuhan gizi seimbang. Bahkan, untuk lauk ayam, harga minimal naik menjadi Rp15 ribu per porsi.
Ketua Koperasi Warteg Nusantara, Mukroni, menyebut bahwa dengan Rp10 ribu, menu yang tersedia biasanya hanya mencakup nasi setengah porsi dengan lauk sederhana seperti tempe orek atau usus ayam. “Pilihan ini tidak memadai untuk memenuhi standar gizi harian,” tegas Mukroni.
Tantangan Memenuhi Standar Gizi
Peneliti Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS), Muhammad Anwar, mengungkapkan bahwa biaya minimal untuk memenuhi kebutuhan gizi seimbang berkisar antara Rp20 ribu hingga Rp30 ribu per porsi. “Anggaran Rp10 ribu jelas tidak cukup untuk memenuhi komponen gizi seperti protein, serat, dan lemak sehat,” ujarnya.
Harga bahan pangan yang terus meningkat semakin memperumit situasi. Data dari Info Pangan Jakarta menunjukkan lonjakan harga beras, daging, dan sayuran dalam beberapa minggu terakhir. Dengan kondisi ini, memastikan ketersediaan makanan bergizi di daerah terpencil menjadi tantangan berat.
Kebijakan yang Berpotensi Tidak Tepat Sasaran
Kritik juga datang dari aspek sasaran program. Achmad Hanif Imaduddin dari Center of Economic and Law Studies (Celios) mempertanyakan efektivitas kebijakan ini dalam menanggulangi stunting. “Jika fokusnya pada anak-anak SMP atau SMA, itu terlambat. Kebijakan ini perlu diarahkan pada kelompok usia yang benar-benar membutuhkan, seperti anak usia dini,” jelasnya.
Selain usia, aspek geografis juga menjadi perhatian. Achmad menyarankan agar program ini diprioritaskan di daerah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal), di mana akses pangan berkualitas jauh lebih sulit dibandingkan di wilayah perkotaan.
Langkah Alternatif untuk Efisiensi
Wijayanto Samirin, ekonom Universitas Paramadina, menawarkan pendekatan lain. Menurutnya, pemerintah sebaiknya memperkecil jumlah penerima manfaat jika anggaran terbatas. “Lebih baik program ini dimulai sebagai piloting di daerah prioritas daripada menciptakan persepsi buruk akibat kualitas yang tidak memadai,” ujarnya.
Hal senada diungkapkan oleh beberapa pakar. Mereka menyarankan pemerintah untuk menetapkan kriteria penerima yang lebih spesifik, seperti hanya anak-anak dari keluarga kurang mampu di sekolah-sekolah negeri. Langkah ini diyakini mampu menjaga kualitas program tanpa membebani anggaran.
Menakar Masa Depan Program MBG
Program Makan Bergizi Gratis menjadi ujian bagi pemerintah dalam mewujudkan janji politik sekaligus menjawab tantangan sosial-ekonomi. Dengan anggaran Rp10 ribu per porsi, risiko penurunan kualitas makanan menjadi ancaman nyata. Upaya inovatif dan strategi pendanaan yang lebih kreatif diperlukan agar tujuan mulia program ini benar-benar tercapai.
Keberhasilan program ini tidak hanya dinilai dari jumlah penerima, tetapi juga dampaknya terhadap perbaikan gizi masyarakat, terutama di daerah yang paling membutuhkan. Pemerintah kini dihadapkan pada pertanyaan besar: mampukah program ini tetap relevan di tengah keterbatasan anggaran? (**)
1 comment
For hottest information you have to paay a visit world-wide-weband oon webb I flund this web pqge aas a finest site for
mokst recent updates.