MELIHAT INDONESIA, JAKARTA – Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto mengisyaratkan perubahan besar dalam sistem rekrutmen militer Indonesia. Ia membuka kemungkinan bagi kelompok disabilitas untuk bergabung dalam jajaran Tentara Nasional Indonesia (TNI), sebuah langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Dalam pernyataannya usai menghadiri Rapat Pimpinan (Rapim) TNI di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Jumat (31/1/2025), Agus menegaskan bahwa rencana ini masih dalam tahap evaluasi internal.
“Nanti kami akan adakan pokja, evaluasi apakah TNI perlu juga disabilitas bisa masuk,” ujarnya.
Terinspirasi dari Polri
Wacana ini tidak muncul begitu saja. Agus mengaku bahwa ide tersebut terinspirasi dari Kepolisian Republik Indonesia (Polri), yang lebih dahulu membuka peluang bagi kelompok disabilitas untuk bergabung dalam institusinya.
Menurutnya, kebijakan yang diterapkan Polri menunjukkan bahwa individu dengan keterbatasan fisik tetap bisa berkontribusi dalam institusi pertahanan dan keamanan negara.
Jika rencana ini direalisasikan, maka TNI akan mengikuti jejak Polri dalam memberi kesempatan yang lebih luas bagi seluruh warga negara untuk mengabdi.
TNI Inklusif: Semua Warga Berhak Mengabdi
Agus menegaskan bahwa pada dasarnya, semua masyarakat memiliki hak untuk menjadi tentara, tanpa terkecuali.
“Jadi semua masyarakat punya hak untuk menjadi tentara,” tegasnya.
Namun, bagaimana teknis pelaksanaannya masih akan dikaji lebih lanjut. Kemungkinan besar, rekrutmen ini akan difokuskan pada bidang tertentu yang tidak memerlukan keterampilan fisik tinggi tetapi tetap berkontribusi besar bagi tugas pokok TNI.
Peluang di Satuan Siber dan Keahlian Khusus
Selain rencana perekrutan kelompok disabilitas, Panglima TNI juga mengungkapkan bahwa institusinya telah membentuk satuan siber yang memberi peluang bagi masyarakat sipil untuk bergabung sebagai bagian dari pertahanan negara.
Tidak hanya itu, kebutuhan akan tenaga ahli seperti dokter, ahli hukum, dan psikolog juga menjadi pertimbangan TNI dalam merekrut personel dari luar jalur tradisional.
“Sehingga TNI ini diisi oleh personel-personel yang selain kami didik untuk komandan, kami juga ada untuk staffing,” kata Agus.
Langkah Progresif atau Tantangan Baru?
Gagasan ini tentu menuai beragam tanggapan. Di satu sisi, langkah TNI ini bisa dipandang sebagai bentuk inklusivitas dan pengakuan bahwa setiap individu, termasuk penyandang disabilitas, memiliki potensi untuk berkontribusi bagi pertahanan negara.
Namun, di sisi lain, implementasinya memerlukan kajian mendalam, terutama terkait regulasi, kesiapan infrastruktur, serta peran spesifik yang bisa dijalankan oleh personel dari kelompok disabilitas.
Apakah TNI akan benar-benar membuka pintu bagi mereka? Semua akan bergantung pada hasil evaluasi dan keputusan strategis yang diambil ke depan. (**)