MELIHAT INDONESIA, JAKARTA – Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan guru, Presiden Prabowo Subianto mengumumkan kenaikan tunjangan bagi guru non-aparatur sipil negara (non-ASN) yang lulus Pendidikan Profesi Guru (PPG). Namun, keputusan ini menimbulkan diskusi panas karena kenaikan tersebut hanya sebesar Rp500 ribu, membawa total tunjangan menjadi Rp2 juta.
Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO), Hasan Hasbi, menjelaskan rincian kebijakan ini dalam konferensi pers di Istana Presiden, Jakarta, pada Senin (2/12/2024). Menurut Hasan, kenaikan ini berlaku secara bertahap, tergantung waktu sertifikasi para guru.
“Guru non-ASN yang memiliki sertifikat sebelum 2024 sebelumnya menerima tunjangan sebesar Rp1,5 juta. Pada 2025, mereka akan menikmati kenaikan menjadi Rp2 juta,” ungkap Hasan. Ia juga menambahkan bahwa bagi guru yang baru mendapat sertifikasi pada 2024, tunjangan Rp2 juta akan langsung diterapkan pada 2025.
Kebijakan yang Tidak Seragam
Hasan menjelaskan bahwa guru ASN juga akan mendapatkan manfaat serupa. Guru ASN yang baru disertifikasi pada 2024 akan menerima tunjangan tambahan sebesar satu kali gaji pokok mereka mulai 2025.
“Ratusan ribu guru ASN yang baru tersertifikasi akan langsung mendapatkan tunjangan tambahan sesuai aturan baru. Hal ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk memberikan perhatian kepada tenaga pengajar kita,” jelasnya.
Namun, implementasi kebijakan ini tidak terlepas dari kritik. Para pengamat pendidikan mempertanyakan apakah kenaikan ini cukup untuk memenuhi kebutuhan guru non-ASN yang kerap menghadapi tantangan ekonomi. Dalam sebuah diskusi publik, lembaga penelitian pendidikan mencatat bahwa banyak guru non-ASN masih berada di bawah garis kesejahteraan meskipun telah menerima tunjangan.
Anggaran Besar, Dampak Terbatas?
Pemerintah telah mengalokasikan tambahan anggaran sebesar Rp16,7 triliun untuk program kesejahteraan guru. Dengan tambahan ini, total anggaran untuk tunjangan guru mencapai Rp81 triliun pada 2025. Namun, efektivitas penggunaan anggaran sebesar itu menjadi perhatian utama.
Hasan optimis bahwa kebijakan ini akan memberikan dampak positif. “Tambahan dana kesejahteraan guru akan meningkatkan kualitas hidup ratusan ribu tenaga pengajar, baik ASN maupun non-ASN,” tegasnya. Meskipun demikian, sejumlah pihak mempertanyakan apakah distribusi dana ini akan benar-benar adil dan tepat sasaran.
Tantangan di Lapangan
Di sisi lain, guru non-ASN di berbagai daerah mengungkapkan kekhawatiran mereka. Salah satu guru dari wilayah pelosok, yang enggan disebutkan namanya, menyebut bahwa meski tunjangan meningkat, kebutuhan dasar seperti transportasi dan biaya operasional mengajar tetap menjadi beban berat.
“Kami apresiasi kenaikan ini, tapi kebutuhan kami lebih besar dari itu. Terkadang, biaya untuk datang ke sekolah saja tidak cukup,” ungkapnya.
Para ahli juga menyoroti pentingnya memprioritaskan guru di daerah terpencil, di mana akses terhadap fasilitas pendidikan dan kesejahteraan masih sangat terbatas. “Pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan ini tidak hanya berpusat di wilayah perkotaan,” kata seorang pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta.
Harapan Masa Depan
Dengan tambahan anggaran yang signifikan, kebijakan ini memiliki potensi besar untuk memperbaiki kesejahteraan guru. Namun, pemerintah perlu memastikan transparansi dan pemerataan dalam pelaksanaan kebijakan. Selain itu, langkah strategis lainnya, seperti memberikan insentif tambahan bagi guru di daerah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal), dapat menjadi solusi jangka panjang.
Dalam konferensi pers, Hasan menutup dengan optimisme. “Kami berkomitmen untuk terus mendukung tenaga pengajar sebagai tulang punggung pendidikan nasional. Kebijakan ini adalah awal dari perjalanan panjang menuju peningkatan mutu pendidikan di Indonesia.”
Meski demikian, waktu yang akan membuktikan apakah langkah ini mampu menjawab kebutuhan guru-guru Indonesia di tengah tantangan yang semakin kompleks. (**)