MELIHAT INDONESIA, JAKARTA – Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang direncanakan mulai 2025 menjadi topik hangat dalam percakapan politik Indonesia. Persoalan ini kini mencuat kembali, melibatkan sejumlah tokoh politik dari berbagai partai, terutama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), yang sebelumnya mendukung pengesahan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang menjadi dasar kenaikan pajak tersebut.
Dolfie Othniel Frederic Palit, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, memberikan klarifikasi terkait klaim dari Partai Gerindra yang menyebut PDIP sebagai pihak yang turut bertanggung jawab dalam pengesahan UU HPP yang menaikkan tarif PPN. Menurut Dolfie, UU HPP adalah inisiatif dari pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang kemudian disampaikan ke DPR pada 5 Mei 2021. “Seluruh fraksi di DPR, kecuali PKS, setuju untuk membahas usulan inisiatif pemerintah tentang RUU HPP,” kata Dolfie, yang juga menjabat sebagai Ketua Panja RUU HPP.
Dolfie menjelaskan lebih lanjut bahwa pada akhirnya, UU HPP, yang melibatkan perubahan besar dalam sistem perpajakan, disetujui pada 7 Oktober 2021. Salah satu komponen utama dalam undang-undang tersebut adalah kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada 2025. Menurutnya, UU ini memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mengusulkan perubahan tarif PPN dalam rentang 5 hingga 12 persen sesuai dengan kondisi ekonomi nasional.
“Sebagai amanat dari UU HPP, tarif PPN mulai 2025 adalah 12%. Pemerintah dapat mengusulkan perubahan tarif PPN dalam rentang 5-15% dengan persetujuan DPR, tergantung pada kondisi perekonomian,” jelasnya.
Namun, yang membuat situasi ini menarik adalah perubahan sikap PDIP yang kini menentang kenaikan PPN tersebut. PDIP, yang sebelumnya terlibat dalam proses pembuatan UU HPP, kini mengusulkan penundaan pelaksanaan kenaikan tarif PPN. Sikap ini menimbulkan kebingungannya, terutama di kalangan anggota DPR dari Gerindra, seperti yang diungkapkan oleh Rahayu Saraswati. Saraswati merasa heran dengan penolakan PDIP, karena partai tersebut sebelumnya terlibat langsung dalam pembahasan dan pengesahan UU HPP. “Kami hanya bisa tertawa mendengar pendapat PDIP yang tiba-tiba menentang PPN 12 persen. Padahal mereka yang memimpin panja yang menyetujui kenaikan PPN ini,” ujar Saraswati.
Menurut Dolfie, jika pemerintah di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto tetap ingin melanjutkan kenaikan tarif PPN, maka kebijakan tersebut harus diimbangi dengan penciptaan lapangan kerja yang lebih luas serta peningkatan kesejahteraan masyarakat. “Kenaikan PPN harus disertai dengan langkah-langkah yang meningkatkan kualitas ekonomi, seperti penciptaan lapangan kerja yang banyak dan peningkatan pendapatan masyarakat,” ujarnya.
Pernyataan ini menyoroti pentingnya keseimbangan antara kebijakan fiskal dan kondisi sosial-ekonomi masyarakat. Dengan kondisi perekonomian yang masih berada dalam fase pemulihan pasca-pandemi, kebijakan yang menambah beban pajak dapat memengaruhi daya beli masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah. Dolfie menekankan bahwa pemerintah perlu mempertimbangkan dampak sosial dari kebijakan ini agar tidak memperburuk ketimpangan sosial yang ada.
Sementara itu, PDIP, meskipun mengusulkan penundaan kenaikan PPN, tetap menekankan bahwa HPP merupakan bagian dari kebijakan fiskal yang lebih luas yang digagas selama masa pemerintahan Jokowi. Meskipun begitu, beberapa kalangan di dalam PDIP berpendapat bahwa timing dari pelaksanaan kenaikan PPN ini perlu dipertimbangkan lebih matang, mengingat potensi dampaknya terhadap sektor-sektor ekonomi yang rentan.
Sikap PDIP yang kini mengkritik kebijakan yang mereka dukung sebelumnya menambah kerumitan dalam diskusi politik ini. PDIP kini berada dalam posisi yang cukup sulit, di mana mereka harus mempertanggungjawabkan keputusan mereka sendiri terkait UU HPP yang mengamanatkan kenaikan PPN.
Sementara itu, Gerindra memandang situasi ini sebagai kesempatan untuk mengkritik PDIP, yang dinilai tidak konsisten dalam posisi politiknya. Keterlibatan PDIP dalam pembuatan UU HPP dianggap bertentangan dengan penolakan mereka terhadap kebijakan yang mereka usulkan. Ini menciptakan kesan bahwa ada ketegangan internal di dalam koalisi pemerintah yang dapat memengaruhi stabilitas politik dalam jangka panjang.
Kebijakan kenaikan PPN yang masih menjadi perdebatan ini menunjukkan betapa kompleksnya persoalan perpajakan di Indonesia. Selain soal pengaruh terhadap daya beli masyarakat, kebijakan ini juga berkaitan dengan upaya pemerintah untuk menjaga kestabilan fiskal dan memperbaiki sistem perpajakan yang telah lama dihadapkan dengan berbagai tantangan.
Apapun hasil akhirnya, perdebatan mengenai kenaikan tarif PPN ini akan terus berlanjut dan kemungkinan besar akan menjadi salah satu topik utama dalam diskursus politik Indonesia menjelang 2025. Keputusan tentang apakah kenaikan PPN akan tetap berlaku atau ditunda akan sangat bergantung pada respons pemerintah terhadap berbagai faktor sosial-ekonomi yang berkembang di masyarakat. (**)