Minggu, Maret 23, 2025
Beranda » Berita » Seni Budaya » Aksara Jawa dan Legenda Aji Saka, Jejak Sejarah yang Tak Terhapus Zaman

Aksara Jawa dan Legenda Aji Saka, Jejak Sejarah yang Tak Terhapus Zaman

Melihat Indonesia

MELIHAT INDONESIA, SEMARANG – Indonesia adalah negeri yang kaya akan warisan budaya, termasuk dalam hal bahasa dan aksara. Salah satu yang menonjol adalah aksara Jawa, sistem tulisan kuno yang hingga kini masih bertahan di tengah gempuran modernitas. Aksara ini tak hanya menjadi warisan budaya, tetapi juga menyimpan cerita rakyat yang sarat makna. Meski aksara Latin kini lebih dominan, aksara Jawa tetap dilestarikan di beberapa wilayah seperti Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, baik melalui pelajaran sekolah maupun sastra tradisional.

Aksara Jawa, yang dikenal sebagai Hanacaraka atau Carakan, berasal dari akar aksara Brahmi India melalui aksara Kawi. Berbasis sistem tulisan abugida, aksara ini juga berkerabat dengan aksara Bali. Di masa lalu, aksara Jawa menjadi alat tulis bagi berbagai bahasa daerah, seperti Sunda, Madura, hingga Sasak. Tak hanya itu, bahasa kuno seperti Sansekerta dan Kawi pun pernah menggunakan aksara ini untuk mencatat pengetahuan dan sejarah.

Namun, warisan aksara ini tak hanya berwujud tulisan. Ada sebuah legenda yang mengisahkan bagaimana aksara Jawa diciptakan. Cerita tersebut menuturkan tentang seorang pemuda bernama Aji Saka yang datang dari tanah Hindustan ke Jawa, membawa perubahan besar yang meninggalkan jejak hingga kini.

Kisah Aji Saka: Perjalanan ke Medang Kamulan

Menurut cerita, Aji Saka berkelana bersama dua sahabat setianya, Dora dan Sembada, menuju sebuah negeri bernama Medang Kamulan. Dalam perjalanan, mereka singgah di Pulau Majeti. Di sana, Aji Saka menitipkan keris pusaka kepada Dora dengan pesan tegas: jangan serahkan keris itu kepada siapa pun kecuali dirinya sendiri. Amanat ini menjadi awal dari kisah tragis yang terjadi kemudian.

Setelah meninggalkan Dora di Pulau Majeti, Aji Saka melanjutkan perjalanan ke Medang Kamulan bersama Sembada. Negeri itu dikenal subur, namun dihantui kengerian karena diperintah oleh raja kejam, Prabu Dewata Cengkar, yang dikenal gemar memakan manusia. Kedatangan Aji Saka membawa harapan baru bagi warga Medang Kamulan yang telah lama hidup dalam ketakutan.

Melawan Kekejaman Raja

Keberanian Aji Saka diuji ketika ia memutuskan menghadapi Prabu Dewata Cengkar secara langsung. Ia mengajukan diri sebagai korban, tetapi dengan syarat tanah seluas kain ikat kepalanya diberikan terlebih dahulu. Dengan keserakahan yang membutakan, sang raja menyetujui permintaan itu. Namun, ia tak menyangka bahwa kain tersebut terus memanjang, melingkupi istana, hingga akhirnya membawa dirinya ke tepi jurang. Di sanalah Prabu Dewata Cengkar tewas, mengakhiri masa pemerintahannya yang penuh kengerian.

Penduduk Medang Kamulan mengangkat Aji Saka sebagai raja mereka. Kepemimpinannya yang bijaksana membawa kedamaian dan kemakmuran bagi negeri itu. Namun, di balik kesuksesan itu, ada kisah duka yang menanti di Pulau Majeti.

Tragedi Dua Sahabat Setia

Aji Saka mengutus Sembada untuk mengambil keris pusaka yang dititipkan kepada Dora. Namun, amanat yang dulu diberikan Aji Saka kepada Dora menjadi penyebab pertikaian. Dora, yang memegang teguh pesan tersebut, menolak menyerahkan keris kepada siapa pun, termasuk Sembada. Perdebatan mereka berubah menjadi pertarungan sengit yang berakhir dengan kematian kedua sahabat tersebut.

Mendengar kabar ini, Aji Saka dilanda kesedihan mendalam. Untuk mengenang kesetiaan Dora dan Sembada, ia menciptakan sebuah sajak yang menjadi dasar aksara Jawa. Sajak itu berbunyi:

Ha Na Ca Ra Ka (Ada utusan)
Da Ta Sa Wa La (Saling berselisih pendapat)
Pa Dha Ja Ya Nya (Sama-sama sakti)
Ma Ga Ba Tha Nga (Sama-sama menjadi mayat)

Warisan yang Tak Terlupakan

Aksara Jawa yang diciptakan Aji Saka bukan sekadar alat tulis, melainkan simbol kesetiaan, keberanian, dan pengorbanan. Hingga kini, aksara ini terus menjadi bagian penting dari identitas budaya Jawa. Dalam setiap hurufnya, terkandung kisah tentang bagaimana manusia mampu bertahan menghadapi tantangan, baik dari luar maupun dalam diri mereka sendiri.

Kisah ini juga menjadi pengingat bahwa tradisi dan nilai-nilai luhur harus terus dijaga, meski zaman terus berubah. Sebagaimana aksara Jawa yang tetap bertahan hingga kini, warisan budaya lain pun layak mendapat tempat di hati generasi penerus. (**)

Recent PostView All

Leave a Comment

Follow Us

Recent Post

Adblock Detected

Please support us by disabling your AdBlocker extension from your browsers for our website.

Diterbitkan oleh PT. Gaspol Media Indonesia

Direktur: Rizky Kurniadi 

Pemimpin Redaksi : Rozaki 

Redaksi: Fathurrahman, Mayda, Zashinta, Pangesti, Kiki, Nico 

Grafis: Immanullah, Wahyu 

Keuangan dan admin: Meyta, Yusrilia

Pemasaran dan Iklan: Nadiva, Krismonika

Kantor Pusat: Kagokan RT.01/RW.04, Gatak, Sukoharjo

Biro Jateng:  Jl Stonen Kavling 7A Kota Semarang

Telp: 0811313945

Email redaksi: redaksi@melihatindonesia.id 

Email iklan: iklan@melihatindonesia.id 

Copyright @ 2024 Melihat Indonesia. All Rights Reserved