MELIHAT INDONESIA, JAKARTA – Presiden Prabowo Subianto kembali mengambil langkah tegas dengan membatalkan kebijakan yang memicu kegelisahan masyarakat. Kali ini, dua keputusan strategis—larangan pengecer menjual LPG 3 kilogram dan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%—dianulir setelah mendapat reaksi keras dari publik.
Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan bahwa gas melon hanya bisa dibeli di pangkalan resmi, melarang pengecer untuk menjualnya. Kebijakan ini segera menimbulkan dampak di lapangan, dengan antrean panjang di pangkalan dan keresahan warga yang kesulitan mendapatkan LPG subsidi.
Setelah berbagai protes mencuat, Presiden Prabowo memanggil Menteri ESDM Bahlil Lahadalia ke Istana. Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengonfirmasi bahwa presiden telah menginstruksikan agar pengecer tetap diizinkan menjual gas seperti biasa. “Presiden kemudian menginstruksikan kepada ESDM untuk per hari ini, mengaktifkan kembali pengecer-pengecer yang ada untuk berjualan seperti biasa,” ujar Dasco di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (4/2).
Tak hanya soal LPG, kebijakan fiskal yang kontroversial pun turut dikoreksi. Kenaikan PPN 12% yang semula akan diberlakukan pada 1 Januari 2025 akhirnya direvisi. Prabowo memutuskan bahwa tarif baru ini hanya berlaku untuk barang dan jasa mewah yang selama ini sudah dikenakan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM).
Kenaikan PPN menjadi 12% awalnya merujuk pada amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Sejak diterapkan bertahap dari 10% menjadi 11% pada 1 April 2022, aturan ini direncanakan naik lagi menjadi 12% di tahun 2025. Namun, sorotan tajam dari masyarakat membuat kebijakan ini dipertimbangkan ulang.
Prabowo menegaskan bahwa kenaikan PPN hanya berlaku untuk barang mewah seperti pesawat jet pribadi, kapal pesiar, dan rumah dengan harga jual di atas Rp30 miliar. “Kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% hanya dikenakan terhadap barang dan jasa mewah, yaitu barang dan jasa tertentu yang selama ini sudah terkena PPN barang mewah,” ujar Prabowo dalam konferensi di Kantor Kementerian Keuangan, Selasa (31/12).
Kebijakan ini juga mengatur pajak barang mewah lainnya, seperti PPnBM 20% untuk hunian mewah, 75% untuk kapal pesiar, serta 50% untuk helikopter dan senjata api. Langkah ini diambil agar kenaikan pajak tidak membebani masyarakat umum.
Sementara itu, dalam kasus LPG 3 kg, pemerintah semula mengharuskan warga membeli langsung ke pangkalan dengan menunjukkan KTP. Namun, aturan ini justru menciptakan kesulitan, terutama bagi mereka yang terbiasa mendapatkan gas dari pengecer yang lebih dekat dan praktis.
Puncak keresahan terjadi saat seorang warga lanjut usia, nenek Yonih, meninggal dunia akibat antre terlalu lama membeli gas di Pamulang, Tangerang, Senin (3/2). Peristiwa tragis ini makin menambah desakan agar kebijakan dikaji ulang.
Merespons situasi yang berkembang, Prabowo kembali memanggil Bahlil Lahadalia dan tokoh senior Jusuf Kalla ke Istana Merdeka pada Selasa (4/2). Hasilnya, larangan pengecer menjual LPG 3 kg resmi dicabut, dengan alasan untuk memastikan distribusi tetap berjalan lancar dan masyarakat tidak kesulitan memperoleh gas subsidi.
Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, menjelaskan bahwa pemerintah juga menyiapkan mekanisme tambahan dengan mendorong pengecer mendaftar di aplikasi Merchant Apps Pangkalan (MAP). “Pertamina akan mendorong para pengecer mendaftar sebagai sub pangkalan resmi guna melindungi rakyat sebagai konsumen terakhir,” ujar Hasan dalam pernyataan tertulisnya kepada media, Selasa (4/2).
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menegaskan bahwa kebijakan larangan pengecer bukan berasal dari Presiden Prabowo. “Tapi melihat situasi dan kondisi, presiden turun tangan,” ujar Dasco.
Dengan dua pembatalan kebijakan ini, Prabowo kembali menunjukkan respons cepat terhadap masukan publik. Meski demikian, polemik seputar tata kelola LPG bersubsidi dan kebijakan perpajakan masih menjadi tantangan bagi pemerintahan ke depan. (**)
1 comment
thanks a lot of information amazing