MELIHAT INDONESIA, BANJARNEGARA – Dataran Tinggi Dieng, mahkota pegunungan Jawa Tengah, kembali mempertontonkan keajaiban musim keringnya: embun es. Tahun ini, fenomena itu datang lebih cepat dari biasanya, membawa hawa dingin yang menggigit bahkan sebelum kemarau benar-benar menggulung tanah-tanah basah.
Senin pagi, 28 April 2025, suhu di Desa Diengkulon, Banjarnegara, tercatat hanya 3 derajat Celsius. Udara begitu beku hingga butiran embun membentuk lapisan tipis kristal es di atas dedaunan, mengubah wajah Dieng menjadi serupa negeri kecil bersalju.
“Pagi ini, suhu tercatat 3,95°C menurut aplikasi @cuacadieng. Embun es sudah mulai terlihat di Dharmasala dan Komplek Candi Setyaki, walau masih tipis dan hanya di beberapa titik,” ujar Sri Utami, Kepala UPT Wisata Dieng Banjarnegara.
Embun es—atau yang akrab disebut “embun upas” oleh warga lokal—menghias rerumputan dan daun dengan lapisan putih, tampak seperti taburan gula bubuk. Namun keindahan ini menyimpan sisi lain yang mengkhawatirkan, terutama bagi petani Dieng.
Dalam bahasa setempat, “upas” berarti racun. Embun upas bukan sekadar pesona dingin, melainkan ancaman nyata bagi tanaman kentang, komoditas utama yang menopang ekonomi masyarakat Dieng. Embun membeku bisa membakar daun dan batang tanaman, membuat hasil panen berisiko anjlok.
Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), embun es muncul saat suhu turun drastis di malam hari dan kelembapan tinggi. Kondisi itu mencegah embun menguap, membiarkannya berubah menjadi kristal-kristal es di permukaan tanah dan tanaman.
Biasanya, embun upas baru menyapa Dieng antara bulan Mei hingga Juli, puncak musim kemarau. Namun perubahan pola cuaca global membuat fenomena ini hadir lebih dini, menjadi pertanda musim kering yang lebih cepat menggulung tahun ini.
Bagi para wisatawan, embun es adalah anugerah. Tidak sedikit pelancong memburu momen langka ini, mendokumentasikan permukaan daun yang berkilau diterpa matahari pagi, menciptakan pemandangan yang hanya bisa ditemukan di ketinggian Dieng.
Dhimas Ferdhiyanto, seorang pegiat wisata lokal, membenarkan kemunculan embun es pertama tahun ini. “Pagi-pagi sekali kami cek lokasi, dan memang sudah terbentuk embun es tipis,” ujar pemilik akun Instagram @cantrik_alit.
Ia juga mengingatkan, suhu ekstrem ini menuntut persiapan ekstra bagi wisatawan yang ingin berburu embun upas. Jaket tebal, sarung tangan, dan perlengkapan lain menjadi kebutuhan utama, bukan sekadar pelengkap gaya.
Fenomena embun es selalu jadi ironi bagi Dieng. Di satu sisi, ia mendatangkan decak kagum dan meningkatkan jumlah wisatawan; di sisi lain, embun ini adalah alarm bahaya bagi petani yang bertaruh hidup pada ladang-ladang kentang mereka.
Kawasan seperti Dharmasala, Komplek Candi Setyaki, dan dataran-dataran tinggi di sekitarnya menjadi saksi bisu bagaimana keindahan dan ancaman berjalan beriringan. Setiap kristal es yang menempel di daun adalah kenangan sekaligus kegelisahan.
Dieng, sekali lagi, menegaskan julukannya sebagai negeri seribu keajaiban. Di balik dinginnya udara, ada kehangatan perjuangan warga yang mencoba bertahan, beradaptasi, dan tetap tersenyum menyambut siapa saja yang datang mengagumi.
Embun es pertama ini menjadi salam pembuka kemarau yang panjang. Dan seperti biasa, Dieng mengajarkan satu hal: keindahan tak selalu datang tanpa pengorbanan. (**)