MELIHAT INDONESIA, JOMBANG – Masruroh, seorang penjual gorengan sederhana dari Dusun Blimbing, Desa Kwaron, Kecamatan Diwek, Jombang, harus menelan pil pahit. Tanpa pernah menduga, ia dijatuhi tagihan listrik fantastis sebesar Rp12,7 juta oleh PLN.
Rumah kecil yang ia tempati sejak 1978 itu kini gelap gulita. Aliran listrik yang dahulu menjadi simbol kemajuan desa, kini justru berubah menjadi beban yang nyaris menghancurkan hidupnya.
“Saya harus bayar pakai apa? Saya cuma jualan gorengan,” keluh Masruroh, dengan suara lirih saat ditemui, Jumat (25/4/2025) malam.
Jaringan listrik di rumah Masruroh sejatinya sudah ada sejak masa almarhum ayahnya, Naif Usman, yang wafat lebih dari tiga dekade silam. Dari 450 watt, daya listrik perlahan bertambah hingga mencapai 2.200 watt.
Namun, bukan besarnya daya yang menjadi persoalan. Tuduhan pencurian listrik sejak 2022-lah yang membuat Masruroh terperangah.
Petugas PLN datang, memeriksa, lalu menetapkan denda tanpa peringatan yang cukup jelas. Total tagihan Rp12,7 juta muncul di layar ponsel Masruroh, disertai ancaman pemutusan jaringan.
Tak sanggup membayar, Masruroh hanya bisa pasrah ketika kabel listrik rumahnya diputus paksa pada Oktober 2022. Ia dan putrinya hidup berpekan-pekan tanpa cahaya.
“Dulu, listrik dipasang ayah saya. Sekarang, malah saya dianggap maling listrik,” ujarnya getir.
Untuk bertahan, Masruroh akhirnya menyambung listrik dari rumah tetangga. Namun, menjelang Idul Fitri, petaka baru menghampiri.
PLN kembali mengirimkan tagihan Rp12,7 juta, disertai pemblokiran pengisian token di meteran tetangga. Masruroh seakan dijebak dalam lingkaran masalah tanpa jalan keluar.
Sementara itu, rumah kecilnya yang dibagi menjadi empat petak sewaan, menjadi saksi bisu derita panjang yang ia alami demi bertahan hidup.
“Uang sewa dipakai buat makan dan sekolah anak. Sekarang, listrik pun jadi beban,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Masruroh mengaku tidak pernah tahu prosedur hukum atas tuduhan pencurian listrik yang dilayangkan kepadanya. Tak ada pendampingan hukum, tak ada kesempatan membela diri.
Yang lebih menyakitkan, nama yang tercantum dalam tagihan adalah mendiang ayahnya, sosok yang sudah wafat sejak 1992.
“Kalau ayah saya sudah meninggal, terus kenapa PLN tetap pakai namanya?” tukas Masruroh.
Dugaan maladministrasi PLN pun mencuat di tengah masyarakat. Banyak pihak menilai perlakuan terhadap Masruroh terlalu kejam untuk ukuran rakyat kecil.
Kini, dengan hanya mengandalkan penghasilan harian dari jualan gorengan, Masruroh berjuang menghidupi dirinya dan anaknya di tengah gelapnya rumah tanpa listrik.
“Mau jualan gorengan berapa lama untuk bayar Rp12 juta?” keluhnya.
Ironi ini menampar nurani publik: di negeri yang katanya menjunjung keadilan sosial, seorang janda penjual gorengan malah diperlakukan seperti penjahat.
Masruroh hanya ingin satu hal: keadilan. Ia berharap ada tangan-tangan yang peduli, yang mampu membuka mata terhadap kezaliman yang menimpanya.
“Kalau listrik sudah jadi hak orang kaya saja, kami yang kecil ini mau hidup bagaimana?” tutup Masruroh penuh kepedihan. (**)