MELIHAT INDONESIA, NGANJUK – Wayang Timplong adalah warisan budaya tradisional dari Nganjuk, Jawa Timur. Meski usianya telah lebih dari satu abad, popularitasnya kian memudar, bahkan di wilayah asalnya. Seni pertunjukan ini kini lebih sering dimainkan pada acara-acara tertentu seperti ruwatan atau bersih desa, sebagai bagian dari tradisi tolak bala atau pelepasan nazar.
Kisah lahirnya wayang Timplong tidak bisa dilepaskan dari nama Ki Bancol, seorang perantau dari Grobogan, Jawa Tengah. Ia dikenal sebagai penggemar berat wayang klithik, sebuah bentuk wayang kayu kecil yang biasa dipertunjukkan di daerah asalnya. Semangat dan kecintaannya pada wayang klithik mendorong Ki Bancol menciptakan kesenian serupa ketika ia menetap di Desa Jetis, Nganjuk, sekitar tahun 1910.
Legenda menyebutkan bahwa inspirasi wayang Timplong datang secara mistis. Saat membelah pohon waru untuk kayu bakar, Ki Bancol melihat bentuk menyerupai wayang pada salah satu potongannya. Ia pun terpanggil untuk memahat kayu itu hingga menjadi wayang. Begitu terinspirasi, ia menciptakan perangkat lengkap wayang Timplong beserta gamelannya.
Perangkat musik pengiring wayang Timplong sederhana, terdiri atas gambang bambu, kendang, kenong, dan kempul. Musik yang dihasilkan memiliki ciri khas suara “ting-thong” dan “plong,” yang konon menjadi asal nama kesenian ini. Namun, di beberapa tempat, wayang ini juga disebut wayang kricik karena bunyi “kricik-kricik” saat dimainkan.
Wayang Timplong sering dikaitkan dengan wayang klithik karena sama-sama terbuat dari kayu. Namun, ada perbedaan mendasar yang membuatnya memiliki identitas tersendiri. Wayang Timplong berbentuk pipih, dengan tubuh polos tanpa ukiran seperti wayang kulit, dan tangan yang terbuat dari kulit binatang. Wajah tokoh-tokoh dalam wayang ini diberi warna hitam atau putih untuk menonjolkan karakter.

Satu pagelaran wayang Timplong biasanya melibatkan hingga 70 tokoh, termasuk binatang dan senjata. Namun, hanya beberapa tokoh yang dianggap penting, seperti Panji, Sekartaji, dan Kilisuci. Panakawan dalam wayang ini terdiri dari dua tokoh unik bernama Kedrah dan Gethik Miri.
Pertunjukan wayang Timplong menggunakan kelir atau layar putih sederhana dengan lubang kecil di tengah sebagai tempat dalang memainkan wayang. Pagelaran ini tidak melibatkan sinden, hanya dalang dan lima pemain gamelan yang menghidupkan pertunjukan dengan alunan musik khas.
Cerita yang dibawakan biasanya berpusat pada kisah-kisah Panji dari kerajaan Jenggala dan Kediri, seperti Panji Laras Miring, Babad Kediri, dan Asmoro Bangun. Kisah-kisah ini sarat nilai sejarah dan pesan moral, yang dulunya menjadi hiburan rakyat sekaligus media edukasi.
Pada masa kejayaannya, terutama pada era 1970-an, wayang Timplong menjadi tontonan populer di Nganjuk. Namun, seiring waktu, minat masyarakat terhadap seni tradisional ini merosot drastis. Banyak faktor yang menyebabkan kemunduran ini, seperti minimnya regenerasi, daya tarik yang kurang modern, dan tantangan manajemen seni pertunjukan.
Pemerintah Kabupaten Nganjuk telah berusaha mempertahankan wayang Timplong dengan mengadakan diskusi dan melibatkan komunitas seni lokal. Beberapa inovasi dicoba, seperti memadukan pertunjukan dengan musik campursari, namun hasilnya belum signifikan.
Kini, wayang Timplong bertahan sebagai bagian dari tradisi lokal yang terancam punah. Perlu perhatian dan upaya serius untuk menjaga kesenian ini agar tetap hidup, bukan sekadar kenangan masa lalu yang terkubur oleh waktu. (**)
1 comment
porno gratis