MELIHAT INDONESIA, YOGYAKARTA – Pada Kamis (24/4/2025), sosok flamboyan yang menjadi ikon budaya dan kuliner Kota Gudeg, Hamzah Sulaiman, menghembuskan napas terakhir di usia 75 tahun.
Kabar duka itu dikonfirmasi langsung oleh Parjirono Wijoyo, perwakilan dari Tim Pengembangan Hamzah Batik. “Bapak Hamzah wafat pada Rabu malam pukul 22.34 WIB di RSUP Dr Sardjito,” ucapnya.
Hamzah—yang akrab disapa Aji—dirawat sejak Senin pagi (21/4/2025). Menurut penuturan pihak keluarga, ia mengidap penyakit gula yang semakin memperburuk kondisi kesehatannya.
“Lebih karena faktor usia dan riwayat diabetes. Sejak Senin pagi beliau sudah dirawat intensif,” kata Parjirono.
Rencananya, Hamzah akan dikremasi pada Sabtu mendatang. Saat ini, jenazahnya disemayamkan di Perkumpulan Urusan Kematian Jogjakarta (PUKJ), Sonopakis Lor, Kasihan, Bantul.
Kepergiannya tak hanya menyisakan kesedihan di lingkar keluarga, tapi juga di hati masyarakat Yogyakarta yang mengenalnya sebagai pemilik dan penggagas warisan kebudayaan kontemporer.
Hamzah Sulaiman dikenal luas sebagai pendiri rumah makan The House of Raminten—tempat ikonik yang memadukan kearifan lokal, nuansa mistik, dan teater kuliner dalam satu sajian budaya.
Ia juga mendirikan Raminten Cabaret Show, sebuah ruang seni pertunjukan yang mempertegas perannya dalam mendobrak batas tradisional dengan nuansa kontemporer dan inklusif.
Tak berhenti di dunia pertunjukan dan kuliner, Hamzah juga meninggalkan jejak kuat dalam dunia batik dan oleh-oleh lewat Hamzah Batik yang tersebar di Malioboro dan Kaliurang, serta Oleh-oleh Raminten yang selalu ramai wisatawan.
“Sosoknya sederhana, tapi visinya luar biasa. Selalu mengajarkan kami untuk tetap memanusiakan manusia,” ucap Parjirono, mengenang ajaran hidup yang diwariskan Hamzah.
Sementara itu, akun Instagram resmi Raminten Cabaret mengunggah pesan penuh haru, menyebut sang pendiri sebagai “Cinta kami”, simbol kehangatan sekaligus kekuatan.
“Langit Jogja malam ini ikut menangis, mengiringi kepergian sang pelita,” tulis akun tersebut.
Dalam gelapnya malam Jogja, nama Hamzah tetap bersinar. Ia bukan hanya pengusaha—ia adalah panggung itu sendiri. Di balik senyuman para pelayan berbusana adat, di balik panggung cabaret yang penuh warna, ada tangan dan hati Hamzah yang bekerja dalam diam.
Kanjeng Mas Tumenggung Tanoyo Hamiji Nindyo, nama kebangsawanan yang disandangnya, bukan sekadar gelar. Itu adalah pengakuan atas kiprahnya sebagai penjaga budaya sekaligus pembaru ruang sosial.
Kini, panggung Raminten mungkin masih berdiri. Tapi satu pemeran utamanya telah turun tirai.
Meski telah tiada, kisah dan karya Hamzah akan terus hidup dalam setiap denting gamelan yang mengiringi sajian makan malam, dalam setiap tepuk tangan di pertunjukan cabaret, dan dalam setiap batik yang ia perkenalkan sebagai identitas Yogyakarta.
Jogja menangis. Tapi juga berterima kasih. Selamat jalan, Hamzah Sulaiman—cinta dan warisanmu tak akan lekang. (**)