MELIHAT INDONESIA, JAKARTA – Belanja konsumsi Jepang turun selama 13 bulan berturut-turut, terhitung hingga bulan Maret 2024.
Hal ini menjadi tantangan bagi para pemangku kebijakan untuk mendorong pertumbuhan upah riil yang lebih kuat, yang merupakan prasyarat untuk kenaikan suku bunga bank sentral Jepang.
Dilansir Reuters, data resmi yang dirilis pada Jumat (10/5/2024), pengeluaran rumah tangga di Jepang turun 1,2 persen pada Maret, dibandingkan tahun sebelumnya, berlawanan dengan perkiraan median ekonom yang memperkirakan penurunan 2,4 persen dan menyusul penurunan 0,5 persen di bulan Februari.
“Konsumsi yang lemah kemungkinan akan membuat Bank of Japan (BOJ) menunggu setidaknya hingga Oktober untuk memastikan adanya siklus upah dan harga yang baik sebelum menaikkan suku bunga,” kata Takeshi Minami, Kepala Ekonom di Norinchukin Research Institute, Jumat (10/5/2024).
“Kecuali jika krisis mata uang terjadi dan memicu pelarian modal, BOJ tidak akan menaikkan suku bunga untuk mempertahankan mata uang yen.”
Berdasarkan penyesuaian musiman, belanja bulanan meningkat 1,2 persen, jauh lebih besar dari perkiraan kontraksi 0,3 persen dan kenaikan 1,4 persen di bulan Februari.
Angka yang lemah ini muncul sehari setelah data Kementerian Tenaga Kerja menunjukkan upah riil menyusut dua tahun berturut-turut, karena kenaikan biaya hidup melebihi upah nominal meskipun terjadi kenaikan gaji terbesar.
Ini terjadi terutama di kalangan perusahaan-perusahaan besar, dalam waktu sekitar tiga dekade.
“Konsumsi mungkin telah mencapai titik terendah, namun tren konsumen hemat tetap kuat karena kenaikan biaya hidup yang mungkin diperburuk oleh melemahnya yen,” kata Minami.
“Dengan demikian, komponen konsumsi swasta pada data PDB kuartal pertama minggu depan mungkin menurun, menyebabkan perekonomian secara keseluruhan berkontraksi sebesar 1,2 persen secara tahunan pada periode yang sama.”
Lemahnya konsumsi rumah tangga merupakan sumber kekhawatiran bagi pemerintah Jepang yang berharap pertumbuhan ekonomi berkelanjutan yang didorong oleh kenaikan upah yang kuat dan belanja konsumen yang kuat.
Data terpisah pada hari Jumat menunjukkan surplus transaksi berjalan Jepang melebar menjadi 3,40 triliun yen ($21,84 miliar) pada bulan Maret.
Angka tersebut dibandingkan dengan perkiraan median ekonom yang memperkirakan surplus sebesar 3,49 triliun yen dalam jajak pendapat Reuters.
Pada tahun fiskal yang berakhir bulan Maret, surplus transaksi berjalan Jepang mencapai rekor tertinggi sebesar 25,339 triliun yen, yang mencerminkan surplus perdagangan, menurunkan harga komoditas, dan peningkatan besar dalam pendapatan primer dari investasi langsung di luar negeri.
Bagaimana dengan Indonesia?
Pertumbuhan konsumsi rumah tangga Indonesia sebagai motor utama perekonomian cenderung melambat pascapandemi.
Daya beli masyarakat mengalami tekanan bertubi-tubi akibat kenaikan harga kebutuhan pokok dan pendapatan yang stagnan.
Melemahnya daya beli dan konsumsi masyarakat itu tampak dari data pertumbuhan ekonomi yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) awal pekan ini.
Meskipun sepintas ekonomi tumbuh solid di angka 5,11 persen sepanjang triwulan I tahun 2024 (Januari-Maret), konsumsi rumah tangga sebagai ”tulang punggung” ekonomi tumbuh tidak optimal.
Medio Januari-Maret 2024, konsumsi masyarakat hanya tumbuh 4,91 persen secara tahunan. Angka tersebut memang lebih tinggi dari triwulan IV-2023 yang tumbuh 4,47 persen dan triwulan I-2023 yang sebesar 4,53 persen.
Namun, pertumbuhan konsumsi itu masih di bawah laju pertumbuhan ekonomi atau level ”normal” 5 persen.
Sejumlah faktor musiman seperti momen Ramadan, pemilihan umum, dan persiapan hari raya Lebaran yang terjadi di sepanjang Januari-Maret tidak signifikan mengerek konsumsi masyarakat ke atas 5 persen. (tim)