MELIHAT INDONESIA – Direktorat Jenderal Bea Cukai menjadi sorotan tajam publik, belakangan ini.
Sejumlah kontroversi mencuat dari tubuh Bea Cukai, yang berada di bawah kendali Kementerian Keuangan (Kemenkeu) ini.
Mulai dari penegakan aturan yang dianggal janggal, hingga kasus korupsi dan gratifikasi yang menjerat sejumlah pejabatnya.
Tahukah kamu, Presiden Soeharto pernah membekukan Bea Cukai dan menyerahkan wewenangnya kepada swasta yang bekerja sama dengan perusahaan Swis?
Bukan hanya Menteri Sri Mulyani yang dibuat pusing oleh para pegawai di lembaga kepabeanan. Puluhan tahun silam, seniornya Ali Wardhana dan Radius Prawiro juga mengalami nasib serupa.
Bahkan, saking bengalnya para pemungut kepabeanan dan cukai, Presiden Soeharto sampai mengalihdayakan (outsourcing) pekerjaan mereka ke swasta.
Mengutip laman kemenkeu.go.id , penyelewengan dan korupsi di Bea Cukai banyak terjadi pada masa Menteri Keuangan dijabat Ali Wardhana (1968-1983).
Mendiang jurnalis Mochtar Lubis menyebut, praktik-praktik penyelundupan dan penyelewengan di Bea Cukai terjadi karena terjalin kongkalikong antara Bea Cukai dan importir penyelundup maupun eksportir nakal.
“Dan kerja Bea Cukai hanya mengadakan ‘denda damai’ belaka yang memuaskan semua pihak yang bersangkutan.”
“Menteri Keuangan patut memeriksa praktik-praktik ‘denda damai’ ini, yang kelihatan telah menjadi satu pola kerja yang teratur,” tulis Mochtar di harian Indonesia Raya, 22 Juli 1969.
Menurut Mochtar, pimpinan lama harus diganti dengan orang baru yang tak terlibat dalam jaring-jaring vested interest (kepentingan pribadi) antara Bea dan Cukai dan importir-penyelundup yang telah mengakar lama.
Selain itu, lanjut Mochtar, perubahan bukan hanya dari sisi kelembagaan, tetapi juga personalia pelaksananya. Namun nyatanya, situasi demikian bertahan cukup lama.
Ketika Menteri Ali melakukan sidak di kantor Bea dan Cukai Tanjung Priok, Mei 1971, dia melihat para petugas tengah bersantai. Ali juga mendapati kabar adanya penyelundupan ratusan ribu baterai merek terkenal.
Padahal, para pegawai Bea dan Cukai baru saja mendapat insentif cukup besar.
“Padahal, ia baru memberikan tunjangan khusus sebesar sembilan kali gaji. Kenaikan tersebut bukan sembarang hadiah, melainkan disertai tuntutan kenaikan pelayanan dan peniadaan penyelewengan,” tulis Saeful Anwar dan Anugrah E.Y. (ed.) dalam Organisasi Kementerian Keuangan dari Masa ke Masa.
Menteri Ali akhirnya melakukan mutasi pejabat eselon II antarunit eselon I. Pada 1978, Direktur Cukai digantikan pejabat dari unit eselon beberapa kali.
Namun, cara ini tak memperbaiki situasi. Penyelewengan dan penyelundupan terus terjadi.
Ali Wardhana kemudian diangkat sebagai Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, Industri, dan Pengawasan Pembangunan pada 1983. Jabatan Menteri Keuangan digantikan Radius Prawiro.
29 Agustus 1983, Radius Prawiro melantik Bambang Soejarto, seorang perwira tinggi Departemen Hankam, sebagai Direktur Jenderal Bea dan Cukai, menggantikan Wahono yang terpilih sebagai gubernur Jawa Timur.
Dalam pidato pelantikan, Radius Prawiro menegaskan bakal memerangi penyelundup sampai ke akar-akarnya.
Akan tetapi, penyelewengan dan penyelundupan Bea dan Cukai belum lenyap. Keluhan terus datang dari pengusaha, termasuk pengusaha Jepang, mengenai aparat Bea dan Cukai yang ribet, berbelit-belit, dan pada akhirnya melakukan pungutan liar.
Pekerjaan Bea Cukai diserahkan ke swasta.
Setelah berdiskusi dengan para menteri dan mendapat penilaian dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 1985 tentang Kebijaksanaan Kelancaran Arus Barang Untuk Menunjang Kegiatan Ekonomi.
Berdasar Inpres tersebut, sebagian wewenang Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dialihkan kepada PT Surveyor Indonesia yang menggandeng perusahaan swasta asal Swiss, Societe Generale de Surveilance (SGS).
Kewenangan itu baru dikembalikan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai setelah Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan diberlakukan secara efektif pada 1 April 1997, yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2006 tentang perubahan Undang-Undang Kepabeanan. (tim)