MELIHAT INDONESIA, YOGYAKARTA – Di saat banyak orang masih sibuk merangkai mimpi, Dewi Agustiningsih sudah menancapkan namanya di buku sejarah Universitas Gadjah Mada (UGM). Bukan sekadar lulus, ia mengguncang semua batasan: doktor termuda, tercepat, dan paling mengejutkan dalam sejarah kampus ternama itu.
Di usia baru 26 tahun, Dewi melesat menyelesaikan studi doktoralnya hanya dalam 2 tahun 6 bulan 13 hari. Sementara rerata usia doktor di UGM 42 tahun, ia menerjang semua norma baku dengan kepala tegak.
Bukan anak pejabat, bukan darah biru. Dewi adalah anak bidikmisi, berangkat dari kantong tipis dan mimpi yang tebal.
Dengan uang saku Rp600.000 sebulan, ia belajar bagaimana mengubah kekurangan menjadi bahan bakar untuk menaklukkan dunia akademik.
“Saya hidup dari uang pas-pasan. Tapi saya tahu, menyerah bukan pilihan,” kata Dewi, Jumat (25/4/2025), seperti dilansir dari siaran resmi UGM.
Selepas sarjana pada 2020, Dewi menyambar kesempatan emas: Program Pendidikan Magister menuju Doktor untuk Sarjana Unggul (PMDSU). Dari sanalah peluru perjuangan ditembakkan.
Tidak banyak waktu untuk berhenti. Saat teman sebayanya sibuk mencari arah hidup, Dewi sudah melaju bak peluru menuju gelar doktor.
“Setelah S1, saya ikut seleksi PMDSU. Saya hanya berpikir: ini atau tidak sama sekali,” kenangnya.
Bukan hanya soal cepat, perjalanan itu penuh luka. Tantangan ekonomi membayangi tiap langkah. Tapi Dewi tahu, keterbatasan bukan alasan untuk tunduk.
“Saya ingin membuktikan: asal ada tekad, jalan pasti ada,” ucapnya lantang.
Dalam dunia riset, Dewi memilih jalur keras: kimia material dan katalis. Ia mengutak-atik silika, titania, dan logam transisi untuk membangun katalis super, yang ramah lingkungan dan tahan dalam berbagai kondisi.
“Katalis ini penting untuk masa depan, untuk membuat reaksi kimia lebih bersih dan efisien,” katanya dengan mata berbinar.
Kini, ia berdiri di gerbang baru: dosen Program Studi Kimia di Institut Teknologi Bandung (ITB). Tapi Dewi tak berniat berhenti. Ia ingin membangun jembatan kolaborasi lintas ilmu, dari farmasi hingga teknik lingkungan.
Lebih dari itu, Dewi ingin menjadi bukti hidup bahwa impian tinggi bisa diraih siapa saja, asal siap bertarung.
“Saya ingin mahasiswa dari kampung, dari keluarga biasa, tahu: mimpi besar itu sah. Kita hanya perlu berani berjuang,” tegasnya.
Tak hanya pintar, Dewi mengusung misi: mendobrak tembok elitisme pendidikan dan membuka gerbang bagi mereka yang dulu hanya bisa bermimpi.
Bagi dunia akademik, Dewi adalah badai perubahan. Untuk anak-anak sederhana di seluruh Indonesia, ia adalah mercusuar harapan.
Dewi Agustiningsih tidak sekadar lulus. Ia meluluhlantakkan stigma bahwa kemiskinan adalah akhir.
Hari ini, langit dunia pendidikan berguncang—karena seorang gadis dari keluarga sederhana berani berkata: aku mampu. (**)