MELIHAT INDONESIA, SEMARANG – RA Kartini bukan hanya tokoh emansipasi perempuan. Di balik perjuangannya, tersimpan kisah spiritual yang jarang dibahas: hubungan intelektual dan keagamaan dengan ulama besar Jawa Tengah, Mbah Sholeh Darat.
Cerita ini kembali ramai dibicarakan lewat ceramah KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha. Dalam salah satu pengajiannya, Gus Baha mengungkap bahwa Kartini punya kedekatan dengan Mbah Sholeh. Bahkan, keluarga besar Kartini dikenal akrab dengan dunia santri.
“Saya pernah baca biografinya Mbah Sholeh Darat. Dulu keluarga Kartini itu ngaji ke Mbah Sholeh. Jepara itu seneng santri karena pengaruh itu,” kata Gus Baha dalam pengajian yang videonya tayang di YouTube @ghonitv1969, dikutip Melihat Indonesia, Senin (21/04/2025).
Gus Baha menekankan bahwa pada masa itu, belajar agama bukan hanya tradisi pesantren. Para bangsawan dan tokoh masyarakat juga ikut nyantri. Para kiai dan pejabat lokal saling menghormati karena ilmu dan akhlaknya.
RA Kartini lahir di Jepara, 21 April 1879. Banyak yang mengenal Kartini dari surat-suratnya yang kritis dan cerdas. Tapi sedikit yang tahu kalau ia juga punya semangat keislaman yang kuat, salah satunya dengan ikut pengajian Mbah Sholeh Darat.
Mbah Sholeh dikenal sebagai penulis tafsir Al-Qur’an dalam huruf pegon. Gaya ngajinya sederhana tapi dalam, dan itulah yang membuat Kartini tertarik. Ia hadir sebagai santri kalong—datang ke pengajian tapi tidak menetap di pesantren.
Menurut buku Kartini Nyantri karya KH Imam Taufiq dan Amirul Ulum, Kartini sering mengikuti pengajian di Demak, Kudus, dan Jepara. Ia bahkan diberi hadiah istimewa dari Mbah Sholeh: kitab tafsir Al-Fatihah dalam huruf pegon.
Dalam salah satu suratnya ke Stella, sahabat pena asal Belanda, Kartini pernah meluapkan kekecewaannya terhadap metode pembelajaran Al-Qur’an yang hanya menekankan pelafalan tanpa pemahaman.
“Saya menganggap itu pekerjaan gil, mengajari orang membaca tanpa mengajarkan makna yang dibacanya,” tulis Kartini pada 6 November 1899.
Pernyataan itu menjadi kritik tajam terhadap pendidikan agama saat itu, sekaligus bukti bahwa Kartini bukan hanya belajar karena tradisi, tapi karena kehausan akan makna.
Tak heran, Mbah Sholeh pun memberi tafsir dalam bahasa yang bisa dipahami Kartini. Tujuannya jelas: agar ia bisa mengakses makna Al-Qur’an langsung dari sumbernya, bukan sekadar lafaz.
Ada sedikit perbedaan pendapat soal kapan tepatnya Kartini mulai belajar ke Mbah Sholeh. KH Musa Machfudh menyebut tahun 1901, sementara Amirul Ulum menyebut sebelum 1892. Tapi yang jelas, hubungan guru dan murid ini nyata dan punya pengaruh besar.
Kartini dikenal cerdas—menguasai Belanda, Prancis, dan Inggris. Tapi ia tak berhenti di literatur Barat. Ia datang sendiri ke pengajian Mbah Sholeh, menyalin tulisan Arab pegon, dan menyerap ilmu agama dengan cara yang relevan bagi dirinya.
Jejak keilmuan ini memperkaya narasi Kartini. Bahwa perjuangannya bukan semata hasil dari bacaan Barat, tapi juga dari laku santri yang penuh pencarian makna.
Mbah Sholeh tak hanya mengajarkan ilmu, tapi juga membukakan pintu tafsir. Kartini pun bukan sekadar simbol perjuangan perempuan, tapi juga pencari Tuhan yang ingin memahami ayat demi ayat secara utuh.
Melalui kisah ini, kita melihat Kartini dari sisi yang berbeda: perempuan santri, pemikir, dan pejuang. Dan pengajian di teras rumah Mbah Sholeh mungkin menjadi bagian penting dari keberaniannya menantang zaman. (**)