MELIHAT INDONESIA, PALU – Kasus dugaan pungutan liar (pungli) di SMKN 2 Kota Palu memicu polemik, terutama setelah Alya Anggriani, seorang siswi kelas XII, dikeluarkan dari sekolah. Alya, yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua OSIS, menjadi sorotan karena aksinya memprotes pungutan dana kursus Bahasa Inggris sebesar Rp250 ribu yang dikenakan kepada siswa.
Pada September 2024, Alya bersama pengurus OSIS dipanggil oleh pihak sekolah untuk diminta menyampaikan permohonan maaf atas keterlibatannya dalam aksi protes. Namun, masalah tidak berhenti di situ.
Puncaknya terjadi pada 24 Oktober 2024, ketika Alya dan sejumlah siswa lainnya menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPRD Sulawesi Tengah. Aksi tersebut menjadi pemicu Alya diberhentikan dari jabatannya sebagai Ketua OSIS.
Dikutip dari tayangan di kanal YouTube @khairazzaadittaqwa, Alya menjelaskan bahwa sebelum dikeluarkan, dirinya menerima berbagai tekanan dari pihak sekolah.
“Pertemuan yang disebut mediasi itu lebih seperti intimidasi. Saya diminta meminta maaf atas apa yang saya lakukan, tetapi saya merasa tidak bersalah karena hanya menyuarakan keresahan siswa,” ujar Alya.
Pada 8 Januari 2025, Alya diundang ke rapat bersama kepala sekolah, wakil kepala sekolah, pembina OSIS, dan pengurus lainnya. Dalam rapat tersebut, status Alya sebagai Ketua OSIS resmi dicabut dengan alasan dugaan pelanggaran berat.
Pihak sekolah menuding Alya terlibat dalam aksi demonstrasi, menyebarkan fitnah, mencemarkan nama baik sekolah, serta memprovokasi siswa dari sekolah lain di Kota Palu.
Tidak lama setelah itu, pada 14 Januari 2025, orang tua Alya dipanggil untuk menghadiri mediasi yang diinisiasi pihak sekolah. Namun, Alya mengungkapkan bahwa pertemuan tersebut justru menjadi tekanan baginya.
Setelah pertemuan itu, Alya mendapati bahwa dirinya resmi dikeluarkan dari sekolah. Ia pun langsung melapor ke Dinas Pendidikan Sulawesi Tengah untuk mencari keadilan.
“Saya langsung menemui kepala bidang SMK di Dinas Pendidikan dan menyerahkan bukti-bukti berupa rekaman yang menunjukkan tindakan intimidasi dari pihak sekolah,” kata Alya.
Dinas Pendidikan kemudian memanggil pihak sekolah untuk mengklarifikasi laporan Alya. Dalam pertemuan tersebut, pihak sekolah membantah telah mengeluarkan Alya dan justru mengklaim bahwa siswi tersebut meminta dipindahkan atas keinginannya sendiri.
Namun, Dinas Pendidikan memutuskan bahwa Alya tetap dapat melanjutkan pendidikan di SMKN 2 Palu seperti semula.
“Keputusan dinas menyatakan saya tetap bersekolah. Kalau saya tidak melapor, mungkin saya sudah benar-benar dikeluarkan,” ujar Alya.
Meski demikian, Alya merasa kecewa karena masalah ini telah mencoreng nama baiknya. Ia berharap keadilan ditegakkan agar tidak ada lagi siswa yang mengalami hal serupa.
Di sisi lain, Kepala SMKN 2 Palu, Loddy Surentu, menegaskan bahwa Alya tidak dikeluarkan dari sekolah, melainkan hanya dinonaktifkan dari jabatannya sebagai Ketua OSIS.
Menurut Loddy, pengnonaktifan tersebut dilakukan berdasarkan pertimbangan tertentu yang tidak dapat dihindari. Namun, ia tidak menjelaskan secara rinci apa saja pertimbangan tersebut.
Kasus ini menjadi pembelajaran penting tentang pentingnya transparansi dalam pengelolaan pendidikan, terutama terkait dengan pungutan yang membebani siswa. Alya berharap langkahnya menyuarakan kebenaran dapat memicu perubahan yang lebih baik di lingkungan sekolah. (**)