MELIHAT INDONESIA, SOLO – Di antara hiruk-pikuk modernisasi yang kian merasuk ke pelosok negeri, ada suara yang tetap bertahan, menggema di pelosok Sumatera Barat. Suara itu berasal dari serunai, alat musik tiup tradisional Minangkabau yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat adat. Tak sekadar alat musik, serunai adalah nafas tradisi, yang setiap tiupannya mengisahkan sejarah, nilai, dan kebanggaan budaya.
Serunai, atau yang kerap disebut puput serunai, sudah lama menjadi pengiring berbagai upacara adat. Di luhak nan tigo—Agam, Tanah Datar, dan Limo Puluah Koto—hingga pesisir barat Sumatera, suara serunai senantiasa mengalun dalam pesta pernikahan, pengangkatan penghulu, hingga perayaan panen raya. Tak jarang, serunai juga ditiupkan seorang diri di ladang atau sawah, menjadi hiburan bagi petani yang tengah beristirahat di bawah naungan langit Minang.
Sebagaimana filosofi adat Minangkabau yang kaya akan makna, serunai pun diciptakan dengan perpaduan unsur alam yang penuh simbol. Bahan utamanya berasal dari kayu capo ringkik atau bambu talang, yang dipilih karena sifatnya yang kokoh namun mudah dibentuk.

Bagian puput atau peniupnya bisa dibuat dari batang padi tua, mengingatkan pada kebersahajaan hidup yang berpadu erat dengan hasil bumi. Sementara bagian corongnya dibuat dari kayu gabus, tanduk kerbau, atau daun kelapa yang dililitkan, menggambarkan keharmonisan antara manusia dan alam.
Dalam permainan serunai, nada-nada yang dihasilkan mengikuti tangga nada pentatonis, khas musik tradisional Minang. Do-re-mi-fa-sol menjadi pola utama yang mengalir lembut, terkadang membentuk irama yang riang, terkadang menghadirkan nada sendu yang menembus jiwa. Setiap daerah di Sumatera Barat memiliki gaya tersendiri dalam memainkan serunai, mencerminkan ragam ekspresi budaya yang tak pernah mati.
Ketika serunai dipadukan dengan alat musik lain seperti talempong, gendang, dan gong, terciptalah simfoni klasik Minangkabau yang begitu khas. Alunan melodi yang mengalir seolah berbicara, membisikkan kisah-kisah masa lalu, menyuarakan semangat, sekaligus merajut kenangan.
Namun, di tengah gempuran budaya modern, keberadaan serunai menghadapi tantangan besar. Generasi muda yang lebih akrab dengan musik digital kerap melupakan warisan berharga ini. Padahal, dalam setiap tiupan serunai, tersimpan identitas dan kebanggaan yang tak tergantikan. Beberapa seniman dan pemerhati budaya terus berusaha menjaga eksistensinya, memperkenalkan serunai dalam berbagai festival dan pertunjukan, agar suaranya tetap menggema, menolak dilupakan oleh zaman.
Serunai Minang bukan sekadar alat musik; ia adalah suara leluhur, yang terus bersuara di antara riuhnya dunia modern. Selama masih ada yang meniupnya, selama masih ada yang mendengarkannya, selama itu pula serunai akan terus hidup, menjadi saksi bisu perjalanan budaya Minangkabau yang tak akan pernah padam. (**)